Nasional

Dari Jelekong hingga Ubud, Kisah Warga Desa yang “Tersihir” Lukisan

memeriksa beberapa lukisan yang ada digaleri miliknya, Manacika, di desa Penestanan, Ubud, Bali. Ini merupakan salah satu geleri terbesar di sana.

Bermula dari bekerja sebagai kernet opelet di tahun 1974, Uga Surgana (62) akhirnya tertarik melukis dan belajar dari mendiang Odin Rohidin (1930an – 2011).

Hingga sekarang, Uga bersama sekitar 600 warga Desa Jelekong lainnya, di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menggantungkan nafkah dari hasil penjualan lukisan, meski usaha mereka membuat lukisan itu sebagai hasil kerajinan dengan harga relatif murah.

“Sejak dulu sampai sekarang saya memiliki spesialisasi melukis suasana pantai. Dari tahun ke tahun, saya terus melukis suasana pantai untuk dijual di kota-kota lain di Jawa sampai Bali,” kata Uga di kediamannya di Desa Jelekong, Selasa (14/2/2017).

Uga membuat lukisan-lukisan figur perempuan dengan kain ikat kepala. Uga menciptakan kesan aktivitas masyarakat pantai di sore hari belum terhenti meski matahari akan tenggelam di ufuk barat.

Semburat warna tembaga keemasan dalam suasana matahari terbenam di pantai menjadi ciri khas lukisan yang ditekuni Uga selama bertahun-tahun.

“Saya memutuskan untuk melukis di usia 19 tahun. Saya kemudian banyak melukis di rumah dan menemukan ketenteraman dengan bekerja di rumah,” kata Uga.? Kedua orangtua Uga menjadi petani.

Sebelumnya, mereka selalu mengkhawatirkan Uga dengan pekerjaan sebagai kernet opelet. Akhirnya, Uga dapat hidup dengan hasil-hasil lukisannya.

Kisah di Penestanan

Di Penestanan, Ubud, Bali, kehidupan warga berubah setelah tentara sekaligus pelukis Arie Smit datang ke sana. Tahun 1960, seorang tentara Belanda yang juga perupa, Arie Smit, meletakkan dasar perubahan masyarakat Penestanan.

Cerita yang lestari hingga kini mengisahkan, saat itu Arie keliling kampung dan mendapati beberapa anak desa mencorat-coret tanah dengan ranting pohon. Dia mengamati gambar anak itu dan tertarik karena keindahannya.

“Dia memuji, katanya gambar saya bagus dan saya diajak untuk diajari melukis. Saya bilang tidak bisa karena harus mengembala bebek,” kata I Ketut Soki, salah satu murid pertama Arie yang tak tahu kapan dia lahir dan hanya bisa memperkirakan usianya kini menginjak 78 tahun.

Soki yang kala itu masih duduk di Sekolah Rakyat lantas diajak Arie menemui ayahnya. Kepada ayah Soki, Arie meminta izin tetapi ditolak dengan alasan Soki harus mengembala 150-an bebek.

“Saya beli 100 bebekmu dan ini uang untuk Bapak sebagai bayaran memelihara bebek. Tetapi Soki harus ikut saya melukis,” kata Soki menirukan ucapan Arie kepada ayahnya waktu itu.

Setelah itu, Soki belajar melukis. Para murid Arie ini lalu disebut young artist. Mereka antara lain Ketut Tagen, Nyoman Londo, Made Sinteg, Made Lasir, Wayan Pugur, Nyoman Gerebig, Gusti Ngurah KK, Nyoman Tjakra, dan, tentu saja Ketut Soki.

Seperti apa kisah lengkap mereka yang “tersihir” lukisan dan menjadikannya “jalan hidup” ini? Sejauh mana melukis mengubah lanskap kehidupan orang-orang agraris di Desa Jelekong dan Penestanan?

Redaksi juga bertandang ke rumah (32), peraih termuda Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk novelnya berjudul Maryam. Okky berbagi ceritanya tentang arti rumah sebagai muara hidupnya pada edisi ini.

(kompas.com)

 

 

Tags

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Close